Asrama MAPK

Asrama yang terletak di sekitar makam terbesar di Solo itu yang disebut MAPK atau bisa juga disebut Ma'had Hadil Iman , adalah tempat para pencari ilmu yang berbeda dari yang lainnya. Anak-anak yang bersekolah di MAPK adalah anak-anak berbeda, anak-anak yang luar biasa dan calon anak-anak yang akan sukses. Mulai dari Komplang sampai Irian Jaya mereka rela meninggalkan orang-orang yang mereka sayang, Ibu, Bapak, Keluarga, dan juga Pacar *yang terakhir dilupakan aja ^_^,  demi mendapatkan pengetahuan dan pengalaman baru serta menunaikan kewajiban sebagai seorang pelajar.
Disanalah kami mendapatkan pengetahuan yang tak ternilai harganya. Para pembina asrama serta ustadz dan ustadzah yang selalu membimbing kami tidak pernah lelah dan selalu memberi yang terbaik untuk kami. Disana juga kami dapat mengerti arti sebuah kebersamaan didalam sebuah perbedaan, banyak aliran-aliran yang bertentangan diantara kami, namun kami tetaplah menjunjung tinggi solidaritas tanpa melepas bendera masing-masing. Kami juga dilatih tentang kedisipilinan, kekompakan, dan segala hal yang akan membuat kami jauh lebih baik dari kita yang dulu tak punya apa-apa.
Peraturan-peraturan yang dibuat oleh pengurus organisasi terkadang membuat kami tertekan, namun pada akhirnya kami tahu kami disini hanya untuk itu, yaa.. untuk diatur, untuk menjadi yang lebih baik, setelah terbiasa dengan peraturan maka kami terbiasa akan hal tersebut. Disini kami juga digemblengtentang keagamaan agar setelah lulus dari MAPK ini kami dapat menjadi orang yang paham akan agama kami lebih dalam lagi dari tingakatn Taqlid menjadiAl 'ilmu bidaliil ^_^  *kok jadi pelajaran kalam ?.
Kami disini juga berteman baik, walau terkadang banyak kesalahpahaman diantara kami, namun itu tidak menjadi  pecahnya persaudaraan kami. yaa persahabatan kami memang erat sekali.
Semoga kenangan di MAPK tercinta ini selalu tersimpan rapi di hati.
Disini Kami juga tergabung dalam sebuah organisasi yang menarik yang disebut OPPK
Organisasi pelajar program keagamaan (OPPK) adalah suatu organisasi tertinggi di MAPK MAN I Surakarta. Organisasi ini bertugas membantu terselenggaranya kegiatan dan mengatur tata tertib asrama disamping bimbingan para Pembina.Dengan adanya OPPK memudahkan siswa/I MAPK dalam menata kehidupan sehari-hari di asrama ataupun didalam pembelajaran di sekolah oleh karena itu Pembina dan OPPK harus berjalan beriringan dan menjaga kestabilan tatanan asrama. Pengurus OPPK berhak mengatur siswa/I MAPK sesuai dengan tata tertib yang berlaku. Jenis kegiatan yang diselenggarakan oleh OPPK  adalah suatu kegiatan yang benar-benar membawa manfaat bagi siswa/I MAPK, karena dengan adanya kegiatan itu para pelajar bisa mengembangkan potensi yang dimiliki masing-masing. Kegiatan yag diselenggarakan OPPK diantaranya adalah :
1.    Program tahunan Celah Pustaka Ilmiah (CPI) kegiatan ini berhubungan dengan pengembangan jurnalistik, Gebyar Seni MAPK (GESMA) berhubungan dengan kesenian dan kekreatifitasan siswa/I MAPK, Camping Dakwah Ramadhan (CDR) kegiatan ini behubungan dengan kegiatan dakwah Islam yang diadakan pada bulan Ramadhan, Language Fair(LF) untuk pengembangan bahasa (Arab dan Inggris).
2.  Program MingguanForum Lingkar Pena (FLP), Majlis Tilawatil Qu;an (MTQ).
       Agar tata tertib OPPK MAPK MAN I Surakarta lebih sistematis, maka dibentuklah kepengurusan yang terdiri atas : ketua, sekretaris, bendahara, dept. Bahasa, dept. Tarbiyah dan Ta’lim, dept. Keamanan, dept. Litbang, dept. Kesenian, dept. Kebersihan, dept. Perpustakaan , dept. Dekorasi dan dokumentasi (DekDok), dept. Perpenta, dept. Olahraga dan Kesehatan, dept. Koperasi, dept. Humas.
       Selain OPPK adapula organisasi lainnya diantara adalah : FK Al-hasyimi (bergerak dibidang kaligrafi), FLP (bergerak dibidang jurnalistik), MPTQ (Majlis Pengembangan TIlawatil Qur’an). Organisasi tersebut dibawah naungan OPPK.
Dengan dibentuknya OPPK diharapkan pembelajaran siswa-siswi MApK lebih sistematis.Dan yang terpenting dari itu semua adalah dengan adanya OPPK siswa-siswi dapat belajar berorganisai demi membentuk generasi islam yang tangguh dan berpengalaman dalam menata kehidupan sendiri


ADAB BERTAMU DAN MENERIMA TAMU

     Adab Bertamu dalam Islam

    a.       Pengertian Bertamu
Bertamu adalah salah satu cara untuk menyambung tali persahabatan yang dianjurkan oleh Islam. Islam memberi kebebasan untuk umatnya dalam bertamu. Tata krama dalam bertamu harus tetap dijaga agar tujuan bertamu itu dapat tercapai. Apabila tata krama ini dilanggar maka tujuan bertamu justru akan menjadi rusak, yakni merenggangnya hubungan persaudaraan. Islam telah memberi bimbingan dalam bertamu, yaitu jangan bertamu pada tiga waktu aurat.  
      Yang dimaksud dengan tiga waktu aurat ialah sehabis zuhur, sesudah isya’, dan sebelum subuh. Allah SWT berfirman yang artinya :

“hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya’.(Itulah) tiga ‘aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS An Nur : 58)

      Ketiga waktu tersebut dikatakan sebagai waktu aurat karena waktu-waktu itu biasanya digunakan. Lazimnya, orang yang beristirahat hanya mengenakan pakaian yang sederhana (karena panas misalnya) sehingga sebagian dari auratnya terbuka. Apabila budak dan anak-anak kecil saja diharuskan meminta izin bila akan masuk ke kamar ayah dan ibunya, apalagi orang lain yang bertamu. Bertamu pada waktu-waktu tersebut tidak mustahil justru akan menyusahkan tuan rumah yang hendak istirahat, karena terpaksa harus berpakaian rapi lagi untuk menerima kedatangan tamunya.

    b.      Contoh Bertamu
    1.      Berpakaian yang rapi dan pantas
Bertamu dengan memakai pakaian yang pantas berarti menghormati tuan rumah dan dirinya sendiri. Tamu yang berpakaian rapi dan pantas akan lebih dihormati oleh tuan rumah, demikian pula sebaliknya. Allah SWT berfirman yang artinya :

 “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri.... ” (QS Al Isra : 7)
    2.      Memberi isyarat dan salam ketika datang
Allah SWT berfirman yang artinya :

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS An Nur : 27)

   Diriwayatkan bahwa:
”Bahwasanya seorang laki-laki meminta izin ke rumah Nabi Muhammad SAW sedangkan beliau ada di dalam rumah. Katanya: Bolehkah aku masuk? Nabi SAW bersabda kepada pembantunya: temuilah orang itu dan ajarkan kepadanya minta izin dan katakan kepadanya agar ia mengucapkan  “Assalmualikum, bolehkah aku masuk” lelaki itu mendengar apa yang diajarkan nabi, lalu ia berkata “Assalmu alaikum, bolehkah aku masuk?” nabi SAW memberi izin kepadanya maka masuklah ia. (HR Abu Daud)

    3.      Jangan mengintip ke dalam rumah
Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Dari Sahal bin Saad ia berkata: Ada seorang lelaki mengintip dari sebuah lubang pintu rumah Rasullulah SAW  dan pada waktu itu beliau sedang menyisir rambutnya. Maka Rasullulah SAW bersabda: ”Jika aku tahu engkau mengintip, niscaya aku colok matamu. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk meminta izin itu adalah karena untuk menjaga pandangan mata.” (HR Bukhari)

    4.      Minta izin masuk maksimal sebanyak tiga kali
Jika telah tiga kali namun belum ada jawaban dari tuan rumah, hendaknya pulang dahulu dan datang pada lain kesempatan. 

    5.      Memperkenalkan diri sebelum masuk
Apabila tuan rumah belum tahu/belum kenal, hendaknya tamu memperkenalkan diri secara jelas, terutama jika bertamu pada malam hari. Diriwayatkan dalam sebuah hadits yang artinya: “Dari Jabir ra la berkata: Aku pernah datang kepada Rasulullah SAW lalu aku mengetuk pintu rumah beliau. Nabi SAW bertanya: “Siapakah itu?” Aku menjawab: “Saya” Beliau bersabda: “Saya, saya...!” seakan-akan beliau marah.” (HR Bukhari)  
Kata “Saya” belum memberi kejelasan. Oleh sebab itu, tamu hendaknya menyebutkan nama dirinya secara jelas sehingga tuan rumah tidak ragu lagi untuk
menerima kedatangannya.

    6.      Tamu lelaki dilarang masuk kedalam rumah apabila tuan rumah hanya seorang wanita
Dalam hal ini, perempuan yang berada di rumah sendirian hendaknya juga tidak memberi izin masuk tamunya. Mempersilahkan tamu lelaki ke dalam rumah sedangkan ia hanya seorang diri sama halnya mengundang bahaya bagi dirinya sendiri. Oleh sebab itu, tamu cukup ditemui diluar saja.
  
    7.      Masuk dan duduk dengan sopan
Setelah tuan rumah mempersilahkan untuk masuk, hendaknya tamu masuk dan duduk dengan sopan di tempat duduk yang telah disediakan. Tamu hendaknya membatasi diri, tidak memandang kemana-mana secara bebas. Pandangan yang tidak dibatasi (terutama bagi tamu asing) dapat menimbulkan kecurigaan bagi tuan rumah. Tamu dapat dinilai sebagai orang yang tidak sopan, bahkan dapat pula dikira sebagai orang jahat yang mencari-cari kesempatan. Apabila tamu tertarik kepada sesuatu (hiasan dinding misalnya), lebih ia berterus terang kepada tuan rumah bahwa ia tertarik dan ingin memperhatikannya.

    8.      Menerima jamuan tuan rumah dengan senang hati
Apabila tuan rumah memberikan jamuan, hendaknya tamu menerima jamuan tersebut dengan senang hati, tidak menampakkan sikap tidak senang terhadap jamuan itu. Jika sekiranya tidak suka dengan jamuan tersebut, sebaiknya berterus terang bahwa dirinya tidak terbiasa menikmati makanan atau minuman seperti itu. Jika tuan rumah telah mempersilahkan untuk menikmati, tamu sebaiknya segera menikmatinya, tidak usah menunggu sampai berkali-kali tuan rumah mempersilahkan dirinya.
   
    9.      Mulailah makan dengan membaca basmalah dan diakhiri dengan membaca hamdalah
Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits yang artinya: “Jika seseorang diantara kamu hendak makan maka sebutlah nama Allah, jika lupa menyebut nama Allah pada awalnya, hendaklah membaca: Bismillahi awwaluhu waakhiruhu.” (HR Abu Daud dan Turmudzi)

    10.  Makanlah dengan tangan kanan, ambilah yang terdekat dan jangan memilih
Islam telah memberi tuntunan bahwa makan dan minum hendaknya dilakukan dengan tangan kanan, tidak sopan dengan tangan kiri (kecuali tangan kanan berhalangan). Cara seperti ini tidak hanya dilakukan saat bertamu saja. Melainkan dalam berbagai suasana, baik di rumah sendiri maupun di rumah orang lain.

    11.  Bersihkan piring, jangan biarkan sisa makanan berceceran
Sementara ada orang yang merasa malu apabila piring yang habis digunakan untuk makan tampak bersih, tidak ada makanan yang tersisa padanya. Mereka khawatir dinilai terlalu lahap. Islam memberi tuntunan yang lebih bagus, tidak sekedar mengikuti perasaan manusia yang terkadang keliru. Tamu yang menggunakan piring untuk menikmati hidangan tuan rumah, hendaknya piring tersebut bersih dari sisa makanan. Tidak perlu menyisakan makanan pada piring yang bekas dipakainya yang terkadang menimbulkan rasa jijik bagi yang melihatnya.

   12.  Segeralah pulang setelah selesai urusan
Kesempatan bertamu dapat digunakan untuk membicarakan berbagai permasalahan hidup. Namun demikian, pembicaraan harus dibatasi tentang permasalahan yang penting saja, sesuai tujuan berkunjung. Hendaknya dihindari pembicaraan yang tidak ada ujung pangkalnya, terlebih membicarakan orang lain. Tamu yang bijaksana tidak suka memperpanjang waktu kunjungannya, ia tanggap terhadap sikap tuan rumah. Apabila tuan rumah telah memperhatikan jam, hendaknya tamu segera pamit karena mungkin sekali tuan rumah akan segera pergi atau mengurus masalah lain. Apabila tuan rumah menghendaki tamunya untuk tetap tinggal dahulu, hendaknya tamu pandai-pandai membaca situasi, apakah permintaan itu sungguh-sungguh atau hanya sekedar pemanis suasana. Apabila permintaan itu sungguh-sungguh maka tiada salah jika tamu memperpanjang masa kunjungannya sesuai batas kewajaran.

    c.       Hikmah dan Tujuan Bertamu
Hikmah dan Tujuan Bertamu yaitu mempererat tali silaturrahim dan semangat kebersamaaan antar sesama manusia.

   Contoh Bertamu dalam islam yaitu :
      Berpakaian yang rapi dan sopan.
      Memberi isyarat dalam salam ketika datang.
      Jangan mengintip kedalam rumah.
      Minta izin masuk maksimal sebanyak tiga kali.
      Memperkenalkan diri sebelum masuk.
      Tamu lelaki dilarang masuk kedalam rumah apabila tuan rumah hanya seorang wanita.
      Masuk dan duduk dengan sopan.
      Menerima jamuan tuan rumah dengan senang hati.
      Mulailah makan dengan membaca basmalah dan diakhiri dengan membaca hamdalah.
      Makanlah dengan tangan kanan, ambilah yang terdekat dan jangan memilih.
      Bersihkan piring, jangan biarkan sisa makanan berceceran.
      Segeralah pulang setelah selesai urusan.
    6.      Hikmah dan tujuan bertamu/menerima tamu adalah mempererat tali silaturrahim dan semangat kebersamaaan antar manusia.

Adab Menerima Tamu dalam Islam
    a.      Kewajiban Menerima Tamu
Sebagai agama yang sempurna, Islam juga memberi tuntunan bagi umatnya dalam menerima tamu. Demikian pentingnya masalah ini (menerima tamu) sehingga Rasulullah SAW menjadikannya sebagai ukuran kesempurnaan iman. Artinya, salah satu tolak ukur kesempurnaan iman seseorang ialah sikap dalam menerima tamu. Sabda Rasulullah SAW:
                        مَنْ كَاَنَ يُؤْمِنُ بِا اللهِ وَالْيَوْمِ الاَخِرِ فَالْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ (رواه البخارى)
Artinya: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya.”(HR Bukhari)

    b.      Contoh Menerima Tamu
    1.      Berpakaian yang pantas
Sebagaimana orang yang bertamu, tuan rumah hendaknya mengenakan pakaian yang pantas pula dalam menerima kedatangan tamunya. Berpakaian pantas dalam menerima kedatangan tamu berarti menghormati tamu dan dirinya sendiri. Islam menghargai kepada seorang yang berpakain rapi, bersih dan sopan. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “ Makan dan Minumlah kamu, bersedekah kamu dan berpakaianlah kamu, tetapi tidak dengan sombong dan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah amat senang melihat bekas nikmatnya pada hambanya.”  (HR Baihaqi)

    2.      Menerima tamu dengan sikap yang baik
Tuan rumah hendaknya menerima kedatangan tamu dengan sikap yang baik, misalnya dengann wajah yang cerah, muka senyum dan sebagainya. Sekali-kali jangan acuh, apalagi memalingkan muka dan tidak mau memandangnya secara wajar. Memalingkan muka atau tidak melihat kepada tamu berarti suatu sikap sombong yang harus dijauhi sejauh-jauhnya.

    3.      Menjamu tamu sesuai kemampuan
Termasuk salah satu cara menghormati tamu ialah memberi jamuan kepadanya.
    4.      Tidak perlu mengada-adakan
Kewajiban menjamu tamu yang ditentukan oleh Islam hanyalah sebatas kemampuan tuan rumah. Oleh sebab itu, tuan rumah tidak perlu terlalu repot dalam menjamu tamunya. Bagi tuan rumah yang mampu hendaknya menyediakan jamuan yang pantas, sedangkan bagi yang kurang mampu hendaknya menyesuaikan kesanggupannya. Jika hanya mampu memberi air putih maka air putih itulah yang disuguhkan. Apabila air putih tidak ada, cukuplah menjamu tamunya dengan senyum dan sikap yang ramah.

    5.      Lama waktu
Sesuai dengan hak tamu, kewajiban memuliakan tamu adalah tiga hari, termasuk hari istimewanya. Selebihnya dari waktu itu adalah sedekah baginya. 

    6.      Antarkan sampai ke pintu halaman jika tamu pulang
Salah satu cara terpuji yang dapat menyenangkan tamu adalah apabila tuan rumah mengantarkan tamunya sampai ke pintu halaman. Tamu akan merasa lebih semangat karena merasa dihormati tuan rumah dan kehadirannya diterima dengan baik.

    c.       Hikmah dan Tujuan Menerima Tamu
Hikmah dan Tujuan Bertamu yaitu mempererat tali silaturrahim dan semangat kebersamaaan antar sesama manusia.





ANTARA TAFSIR DAN TAKWIL


 Konsep tafsir dan takwil sangat perlu diketahui umat Islam, sebab al-Quran sebagai pedoman hidup tidak mungkin dipahami, kecuali dengan tafsir dan takwil. Dengan memahami konsep keduanya, pada gilirannya umat akan dapat mengamalkan al-Quran dalam kehidupan. Di samping itu, umat akan dapat pula menilai dengan kritis tafsir dan takwil yang sahih dan yang tidak. Sebab, tidak jarang atas nama “tafsir”, segelintir pihak tertentu menularkan pemahamannya yang keliru mengenai ayat al-Quran. Mereka berlindung di balik rupa-rupa argumentasi palsu agar tidak dinilai salah atau sesat, misalnya dengan mengatakan bahwa “al-Quran” memang mutlak benar, tetapi “tafsir al-Quran” adalah relatif dan nisbi (Mustaqim, 2001:  21).
Telaah Kitab kali ini bertujuan untuk menelaah konsep tafsir dan takwil yang terdapat dalam sejumlah kitab ushul dan tafsir;  yang mencakup persoalan definisi dan contoh-contohnya, ruang lingkup takwil, syarat-syarat takwil, serta beberapa hal lain yang terkait.

Definisi Tafsir dan Takwil
            Tafsir (tafsîr) dan takwil (ta’wîl) menurut ulama mutaqaddimin (dulu), seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H), maknanya sama, sedangkan menurut ulama muta’akhirin (sekarang), seperti Az-Zarkasyi (w. 794 H), pengertian keduanya berbeda (Ash-Shabuni, 1983:66; Al-Hasan, 1983:139-140). Menurut Az-Zarkasyi (Al-Burhân, II/164), pendapat yang tepat ialah yang membedakan keduanya.
Istilah tafsir dipahami lebih umum daripada takwil. Jika disebut istilah tafsir, maka ia bermakna umum sebagai penjelasan ayat Al-Quran (bayân ayat al-Qur’ân) sehingga takwil termasuk ke dalamnya.  
            Menurut pengertian bahasa, tafsir (tafsîr) berasal dari akar kata fasara, yang berarti menjelaskan (al-bayân) dan menyingkapkan (al-kasyf) (As-Suyuthi, Al-Itqân, I/173), atau menampakkan (al-izh-hâr) (Az-Zarkasyi, Al-Burhân, II/162).
Sedangkan menurut istilah, ada banyak definisi. Menurut As-Suyuthi (w. 911 H) dengan mengutip dari Az-Zarkasyi, tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Rasulullah saw. untuk menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya, dengan bantuan ilmu lughah (kosakata), nahwu, sharaf, ilmu bayan, ushul fikih, dan ilmu qirâ’ât (bacaan al-Quran). Selain itu, dibutuhkan juga pengetahuan asbâb an-nuzûl, serta nâsikh dan mansûkh  (As-Suyuthi, Al-Itqân, I/174; Al-Husaini, Zubdah Al-Itqân, hlm. 146).
Menurut Al-Baghdadi (1988: 15-16), definisi ini belum mencakup (jâmi‘). Karena itu, menurut Al-Baghdadi, definisi tafsir yang lebih tepat adalah: ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad saw. dengan menggunakan pengetahuan bahasa Arab (menurut makna bahasa maupun makna syariatnya) dan as-Sunnah, baik untuk memahami pengertian kata (lafazh) maupun susunan kalimatnya (tarkîb al-jumal), yang berkaitan dengan akidah, syariat, dan adab, kemudian mengggali (istinbâth) hukum untuk memecahkan berbagai problem di setiap tempat dan waktu.  
            Adapun takwil (ta’wîl), secara bahasa berasal dari akar kata awl, yang berarti kembali ke asal (ar-rujû‘) (As-Suyuthi, Al-Itqân, I/173), atau akibat (al-‘aqîbah) dan kesudahan (al-mashîr) (Az-Zarkasyi, Al-Burhan, II/164). Namun, menurut Az-Zarqani, makna bahasa yang paling masyhur untuk takwil adalah sinonim dengan tafsir, yaitu menjelaskan (bayân)  (Manâhil al-‘Irfân, II/4).
Sedangkan secara istilah, takwil menurut al-Jurjani (w. 816 H) adalah mengalihkan kata dari makna lahiriahnya menuju makna lain yang masih dapat dikandungnya, yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah (At-Ta‘rifât, hlm. 50). Menurut Al-Amidi takwil adalah mengartikan kata bukan ke makna lahiriahnya menuju makna lain yang masih dapat dikandungnya, karena adanya dalil yang menghendakinya  (Al-Amidi, Al-Ihkâm, III/37; Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 176)
            Dari uraian di atas, dapat diketahui segi perbedaan tafsir dan takwil. Tafsir merujuk pada makna lahiriah, sedangkan takwil mengacu pada makna lain yang bukan makna lahiriah, yang masih dapat dikandung ayat, berdasarkan dalil (Az-Zuhaili, 2001: 313; Ushama, 2000: 5). Dengan ringkas An-Nabhani (1994: 290) mengatakan, tafsir merupakan penjelasan apa yang dimaksud oleh kata  (bayân al-murâd bi al-lafzh), sedangkan takwil merupakan penjelasan apa yang dimaksud oleh makna (bayân al-murâd bi al-ma’na) (Al-Qattan, 2001: 461).      
            Contoh tafsir dan takwil, firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 2 yang berbunyi: lâ rayba fîhi (tidak ada keraguan di dalamnya). Jika diartikan, “lâ syakka fîhi (tidak ada kebimbangan di dalamnya),” maka ini adalah tafsir. Jika diartikan, “tidak ada keraguan di kalangan kaum yang beriman” maka ini adalah takwil (Al-Qurthubi, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, IV/15-16).
Contoh lain, misalkan firman Allah dalam surah al-An’am ayat 95 yang berbunyi: yukhrij al-hayya min al-mayyit (Allah mengeluarkan yang hidup dari yang mati). Jika ayat ini diartikan, “Allah mengeluarkan burung (yang bernyawa) dari telur (yang mati/tidak bernyawa),” maka ini tafsir. Jika diartikan Allah mengeluarkan orang Mukmin dari orang kafir atau orang berilmu dari orang bodoh maka ini takwil (Al-Jurjani, At-Ta‘rifât, hlm. 50-51).
Contoh lain, firman Allah dalam surah al-Fajr ayat 14 yang berbunyi: Inna Rabbaka labil mirshâd (Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi). Jika diartikan, Allah benar-benar mengawasi segala perilaku para hamba-Nya, maka itu tafsir. Jika diartikan, Allah memperingatkan para hamba-Nya yang telah meremehkan dan melalaikan perintah Allah, maka ini adalah takwil (As-Suyuthi, Al-Itqân, I/173).
            Menurut Az-Zuhaili (2001: 314), di antara contoh takwil ialah taqyîd al-muthlaq (pemberian batasan/syarat pada nash yang mutlak), takhshîsh al-‘âmm (pengkhususan nash yang umum), dan pengalihan nash umum dari maknanya yang umum ke makna khusus. Az-Zuhaili (2001: 317) lalu mencontohkan takwil Imam Asy-Syafi’i terhadap firman Allah Swt.:
]وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا[
Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. (QS an-Nur [24]:  31).
Frasa illâ zhahara minhâ asalnya bermakna umum (kecuali yang tampak darinya). Lalu Imam Asy-Syafi’i menakwilkannya dengan, “illâ al-wajh wa al-kaffayn” (kecuali wajah dan dua telapak tangannya). Takwil ini berdasarkan hadis yanhg dituturkan Aisyah ra. bahwa Nabi saw. pernah berkata kepada Asma’ binti Abu Bakar:
«يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ»
Hai Asma’, sesungguhnya wanita itu, jika sudah haid, tidak pantas dilihat darinya kecuali ini dan ini (Nabi saw. menunjuk pada wajah dan kedua telapak tangannya). (HR Abu Dawud).   
CONTOH-CONTOH TAKWIL NAS YANG MUTASYABIHAT MENURUT AHLI SUNNAH ALIRAN SALAF DAN KHALAF
Berikut adalah contoh-contoh takwil berdasarkan metod salaf dan khalaf.
i)Firman Allah
يَخَافُونَ رَ‌بَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُ‌ونَ
Ertinya : Mereka (para malaikat) takut kepada Tuhan mereka Yang di atas mereka (dengan kekuasaanNya), serta mereka mengerjakan apa Yang diperintahkan.(Annahli16:50)


Takwil salaf – Kita tidak mengetahui maksud ‘di atas’ di dalam ayat tersebut.Kita serahkan maknanya kepada Allah dan maha suci Allah itu daripada keadaannya berpihak samada di atas atau di bawah.
Takwil khalaf – Maksud ‘di atas’ itu ialah ‘ketinggian dan kebesaran’.Maka jadilah maksudnya para malaikat takut dengan ketinggian dan kebesaran Allah.
ii)Firman Allah
الرَّ‌حْمَـٰنُ عَلَى الْعَرْ‌شِ اسْتَوَىٰ
Ertinya : Iaitu (Allah) Ar-Rahman, Yang bersemayam di atas Arasy.(Ta Ha 20:5)
Takwil salaf – Kita tidak mengetahui maksud ‘bersemayam’ tersebut dan kita serahkan maknanya kepada Allah.Akan tetapi mustahil Allah daripada mengambil tempat dan mustahil zatNya itu daripada bersentuh dengan arasy.
Takwil khalaf – Maksud bersemayam itu ialah memerintah dan menguasai.Maka jadilah makna ayat tersebut Allah itu memerintah dan menguasai arasy.
iii)Firman Allah Taala
وَجَاءَ رَ‌بُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
Ertinya : Dan Tuhanmu pun datang, sedang malaikat berbaris-baris (siap sedia menjalankan perintah),
Begitu juga disebut di dalam sebuah hadis
ﻴﻧﺯﻝ ﺍﷲ ﻋﺯ ﻭﺟﻝ ﻛﻝﻟﻴﻟﺔ ﺇﻟﻰ ﺳﻣﺎﺀ ﺍﻟﺩﻧﻴﺎ
Ertinya :Turun Tuhan kita pada setiap malam ke langit dunia….
Takwil salaf – Kita tidak mengetahui makna ‘datang’ dan ‘turun’ Tuhan di dalam ayat dan hadis tersebut dan kita serahkan maknanya kepada Allah.Akan tetapi mustahil Allah itu daripada sifat pergi datang dan berpindah – pindah.
Takwil khalaf - Yang dimaksudkan dengan datang Tuhan di dalam ayat tersebut ertinya telah ‘datang azab Tuhan’ atau ‘datang urusan Tuhan’ yang melengkapi azab dan rahmatNya dan yang dimaksudkan dengan ‘turun Tuhan’ di dalam hadis itu pula ertinya turun malaikat Tuhan kita.
iv)Firman Allah
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَ‌بِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَ‌امِ
Ertinya : Dan akan kekallah wajah Tuhanmu Yang mempunyai kebesaran dan Kemuliaan:(Ar-Rahman 55:27)
Takwil salaf – Kita tidak mengetahui maksud wajah Allah di dalam ayat di atas , dan kita serahkan maknanya yang sebenar kepada Allah , tetapi kita mengiktikadkan mustahil Allah itu daripada bersamaan dengan makhluk beranggota wajah dan bersuku - suku.
Takwil khalaf – Yang dimaksudkan wajah di dalam ayat di atas ialah zat Allah.Maka jadilah makna ayat tersebut “Dan kekallah zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”
v)Firman Allah
يَدُ اللَّـهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ

Ertinya :Tangan Allah itu di atas tangan – tangan mereka....(Al Fath 48:10)
Takwil salaf – Kami tidak mengetahui erti tangan Allah akan tetapi mustahil bagi Allah itu beranggota tangan dan bersuku – suku.
Takwil khalaf – Yang dimaksudkan dengan tangan itu ialah kudrat (kuasa).Maka jadilah maksud ayat tersebut kuasa Allah itu mengatasi kuasa mereka (manusia).
vi)Sabda rasulullah saw
ﻗﻟﺏ ﺍﻟﻣﺅﻣﻦ ﺑﻴﻦ ﺇﺼﺑﻌﻴﻦﻣﻦ ﺃﺼﺎﺑﻊ ﺍﻟﺭﺣﻣﻦ
Ertinya :Sesungguhnya hati orang yang beriman itu berada di antara dua jari daripada jari – jari Tuhan yang bersifat Rahman.
Takwil salaf – Kami tidak mengetahui makna ‘jari’ di dalam hadis di atas.Tetapi mustahil Allah swt itu mempunyai anggota jari dan bersuku – suku.
Takwil khalaf – Maksud dua jari tuhan itu ertinya dua sifat Tuhan iaitu kudrat (kuasa) dan iradat (kehendak).Maksudnya hati manusia itu sentiasa di dalam taaluk kuasa dan kehendak Allah.
Demikianlah contoh – contoh ayat mutasyabihat dan contoh – contoh takwil oleh ulama – ulama salaf dan khalaf.Kedua – duanya bermaksud mensucikan Allah daripada sifat mustahil dan keduanya itu adalah pegangan ahli sunnah.Wajib atas kita,setiap kali berjumpa dengan nas-nas yang mutasyabihat seperti contoh di atas,mentakwilkannya samada dengan takwil khalaf iaitu dengan makna yang menasabah dengan ketinggian zat Allah seperti yang telah diketahui daripada huraian mukhalafatuhu lil hawadis atau mentakwilkannya dengan takwil salaf iaitu diserahkan maknanya yang sebenar kepada Allah di samping mengiktikadkan suci Allah daripada simaatul huduth (ciri-ciri baharu yang sepuluh perkara) yang telah lalu. Kata Syeikh Ibrahim Al Laqqani di dalam nazamnya:
وكل نص أوهم التشبيها*اوله أو فوض ورم تنزيها
Ertinya:Tiap-tiap nas Al Quran atau hadis yang memberi waham ia akan tasybih Allah itu dengan yang bahru,takwil olehmu atau serahkannya olehmu akan pengetahuan itu kepada Allah dan kasad olehmu akan suci Allah Taala daripada menyerupai dengan segala yang baharu.