ANTARA TAFSIR DAN TAKWIL


 Konsep tafsir dan takwil sangat perlu diketahui umat Islam, sebab al-Quran sebagai pedoman hidup tidak mungkin dipahami, kecuali dengan tafsir dan takwil. Dengan memahami konsep keduanya, pada gilirannya umat akan dapat mengamalkan al-Quran dalam kehidupan. Di samping itu, umat akan dapat pula menilai dengan kritis tafsir dan takwil yang sahih dan yang tidak. Sebab, tidak jarang atas nama “tafsir”, segelintir pihak tertentu menularkan pemahamannya yang keliru mengenai ayat al-Quran. Mereka berlindung di balik rupa-rupa argumentasi palsu agar tidak dinilai salah atau sesat, misalnya dengan mengatakan bahwa “al-Quran” memang mutlak benar, tetapi “tafsir al-Quran” adalah relatif dan nisbi (Mustaqim, 2001:  21).
Telaah Kitab kali ini bertujuan untuk menelaah konsep tafsir dan takwil yang terdapat dalam sejumlah kitab ushul dan tafsir;  yang mencakup persoalan definisi dan contoh-contohnya, ruang lingkup takwil, syarat-syarat takwil, serta beberapa hal lain yang terkait.

Definisi Tafsir dan Takwil
            Tafsir (tafsîr) dan takwil (ta’wîl) menurut ulama mutaqaddimin (dulu), seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H), maknanya sama, sedangkan menurut ulama muta’akhirin (sekarang), seperti Az-Zarkasyi (w. 794 H), pengertian keduanya berbeda (Ash-Shabuni, 1983:66; Al-Hasan, 1983:139-140). Menurut Az-Zarkasyi (Al-Burhân, II/164), pendapat yang tepat ialah yang membedakan keduanya.
Istilah tafsir dipahami lebih umum daripada takwil. Jika disebut istilah tafsir, maka ia bermakna umum sebagai penjelasan ayat Al-Quran (bayân ayat al-Qur’ân) sehingga takwil termasuk ke dalamnya.  
            Menurut pengertian bahasa, tafsir (tafsîr) berasal dari akar kata fasara, yang berarti menjelaskan (al-bayân) dan menyingkapkan (al-kasyf) (As-Suyuthi, Al-Itqân, I/173), atau menampakkan (al-izh-hâr) (Az-Zarkasyi, Al-Burhân, II/162).
Sedangkan menurut istilah, ada banyak definisi. Menurut As-Suyuthi (w. 911 H) dengan mengutip dari Az-Zarkasyi, tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Rasulullah saw. untuk menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya, dengan bantuan ilmu lughah (kosakata), nahwu, sharaf, ilmu bayan, ushul fikih, dan ilmu qirâ’ât (bacaan al-Quran). Selain itu, dibutuhkan juga pengetahuan asbâb an-nuzûl, serta nâsikh dan mansûkh  (As-Suyuthi, Al-Itqân, I/174; Al-Husaini, Zubdah Al-Itqân, hlm. 146).
Menurut Al-Baghdadi (1988: 15-16), definisi ini belum mencakup (jâmi‘). Karena itu, menurut Al-Baghdadi, definisi tafsir yang lebih tepat adalah: ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad saw. dengan menggunakan pengetahuan bahasa Arab (menurut makna bahasa maupun makna syariatnya) dan as-Sunnah, baik untuk memahami pengertian kata (lafazh) maupun susunan kalimatnya (tarkîb al-jumal), yang berkaitan dengan akidah, syariat, dan adab, kemudian mengggali (istinbâth) hukum untuk memecahkan berbagai problem di setiap tempat dan waktu.  
            Adapun takwil (ta’wîl), secara bahasa berasal dari akar kata awl, yang berarti kembali ke asal (ar-rujû‘) (As-Suyuthi, Al-Itqân, I/173), atau akibat (al-‘aqîbah) dan kesudahan (al-mashîr) (Az-Zarkasyi, Al-Burhan, II/164). Namun, menurut Az-Zarqani, makna bahasa yang paling masyhur untuk takwil adalah sinonim dengan tafsir, yaitu menjelaskan (bayân)  (Manâhil al-‘Irfân, II/4).
Sedangkan secara istilah, takwil menurut al-Jurjani (w. 816 H) adalah mengalihkan kata dari makna lahiriahnya menuju makna lain yang masih dapat dikandungnya, yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah (At-Ta‘rifât, hlm. 50). Menurut Al-Amidi takwil adalah mengartikan kata bukan ke makna lahiriahnya menuju makna lain yang masih dapat dikandungnya, karena adanya dalil yang menghendakinya  (Al-Amidi, Al-Ihkâm, III/37; Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 176)
            Dari uraian di atas, dapat diketahui segi perbedaan tafsir dan takwil. Tafsir merujuk pada makna lahiriah, sedangkan takwil mengacu pada makna lain yang bukan makna lahiriah, yang masih dapat dikandung ayat, berdasarkan dalil (Az-Zuhaili, 2001: 313; Ushama, 2000: 5). Dengan ringkas An-Nabhani (1994: 290) mengatakan, tafsir merupakan penjelasan apa yang dimaksud oleh kata  (bayân al-murâd bi al-lafzh), sedangkan takwil merupakan penjelasan apa yang dimaksud oleh makna (bayân al-murâd bi al-ma’na) (Al-Qattan, 2001: 461).      
            Contoh tafsir dan takwil, firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 2 yang berbunyi: lâ rayba fîhi (tidak ada keraguan di dalamnya). Jika diartikan, “lâ syakka fîhi (tidak ada kebimbangan di dalamnya),” maka ini adalah tafsir. Jika diartikan, “tidak ada keraguan di kalangan kaum yang beriman” maka ini adalah takwil (Al-Qurthubi, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, IV/15-16).
Contoh lain, misalkan firman Allah dalam surah al-An’am ayat 95 yang berbunyi: yukhrij al-hayya min al-mayyit (Allah mengeluarkan yang hidup dari yang mati). Jika ayat ini diartikan, “Allah mengeluarkan burung (yang bernyawa) dari telur (yang mati/tidak bernyawa),” maka ini tafsir. Jika diartikan Allah mengeluarkan orang Mukmin dari orang kafir atau orang berilmu dari orang bodoh maka ini takwil (Al-Jurjani, At-Ta‘rifât, hlm. 50-51).
Contoh lain, firman Allah dalam surah al-Fajr ayat 14 yang berbunyi: Inna Rabbaka labil mirshâd (Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi). Jika diartikan, Allah benar-benar mengawasi segala perilaku para hamba-Nya, maka itu tafsir. Jika diartikan, Allah memperingatkan para hamba-Nya yang telah meremehkan dan melalaikan perintah Allah, maka ini adalah takwil (As-Suyuthi, Al-Itqân, I/173).
            Menurut Az-Zuhaili (2001: 314), di antara contoh takwil ialah taqyîd al-muthlaq (pemberian batasan/syarat pada nash yang mutlak), takhshîsh al-‘âmm (pengkhususan nash yang umum), dan pengalihan nash umum dari maknanya yang umum ke makna khusus. Az-Zuhaili (2001: 317) lalu mencontohkan takwil Imam Asy-Syafi’i terhadap firman Allah Swt.:
]وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا[
Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. (QS an-Nur [24]:  31).
Frasa illâ zhahara minhâ asalnya bermakna umum (kecuali yang tampak darinya). Lalu Imam Asy-Syafi’i menakwilkannya dengan, “illâ al-wajh wa al-kaffayn” (kecuali wajah dan dua telapak tangannya). Takwil ini berdasarkan hadis yanhg dituturkan Aisyah ra. bahwa Nabi saw. pernah berkata kepada Asma’ binti Abu Bakar:
«يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ»
Hai Asma’, sesungguhnya wanita itu, jika sudah haid, tidak pantas dilihat darinya kecuali ini dan ini (Nabi saw. menunjuk pada wajah dan kedua telapak tangannya). (HR Abu Dawud).   
CONTOH-CONTOH TAKWIL NAS YANG MUTASYABIHAT MENURUT AHLI SUNNAH ALIRAN SALAF DAN KHALAF
Berikut adalah contoh-contoh takwil berdasarkan metod salaf dan khalaf.
i)Firman Allah
يَخَافُونَ رَ‌بَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُ‌ونَ
Ertinya : Mereka (para malaikat) takut kepada Tuhan mereka Yang di atas mereka (dengan kekuasaanNya), serta mereka mengerjakan apa Yang diperintahkan.(Annahli16:50)


Takwil salaf – Kita tidak mengetahui maksud ‘di atas’ di dalam ayat tersebut.Kita serahkan maknanya kepada Allah dan maha suci Allah itu daripada keadaannya berpihak samada di atas atau di bawah.
Takwil khalaf – Maksud ‘di atas’ itu ialah ‘ketinggian dan kebesaran’.Maka jadilah maksudnya para malaikat takut dengan ketinggian dan kebesaran Allah.
ii)Firman Allah
الرَّ‌حْمَـٰنُ عَلَى الْعَرْ‌شِ اسْتَوَىٰ
Ertinya : Iaitu (Allah) Ar-Rahman, Yang bersemayam di atas Arasy.(Ta Ha 20:5)
Takwil salaf – Kita tidak mengetahui maksud ‘bersemayam’ tersebut dan kita serahkan maknanya kepada Allah.Akan tetapi mustahil Allah daripada mengambil tempat dan mustahil zatNya itu daripada bersentuh dengan arasy.
Takwil khalaf – Maksud bersemayam itu ialah memerintah dan menguasai.Maka jadilah makna ayat tersebut Allah itu memerintah dan menguasai arasy.
iii)Firman Allah Taala
وَجَاءَ رَ‌بُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
Ertinya : Dan Tuhanmu pun datang, sedang malaikat berbaris-baris (siap sedia menjalankan perintah),
Begitu juga disebut di dalam sebuah hadis
ﻴﻧﺯﻝ ﺍﷲ ﻋﺯ ﻭﺟﻝ ﻛﻝﻟﻴﻟﺔ ﺇﻟﻰ ﺳﻣﺎﺀ ﺍﻟﺩﻧﻴﺎ
Ertinya :Turun Tuhan kita pada setiap malam ke langit dunia….
Takwil salaf – Kita tidak mengetahui makna ‘datang’ dan ‘turun’ Tuhan di dalam ayat dan hadis tersebut dan kita serahkan maknanya kepada Allah.Akan tetapi mustahil Allah itu daripada sifat pergi datang dan berpindah – pindah.
Takwil khalaf - Yang dimaksudkan dengan datang Tuhan di dalam ayat tersebut ertinya telah ‘datang azab Tuhan’ atau ‘datang urusan Tuhan’ yang melengkapi azab dan rahmatNya dan yang dimaksudkan dengan ‘turun Tuhan’ di dalam hadis itu pula ertinya turun malaikat Tuhan kita.
iv)Firman Allah
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَ‌بِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَ‌امِ
Ertinya : Dan akan kekallah wajah Tuhanmu Yang mempunyai kebesaran dan Kemuliaan:(Ar-Rahman 55:27)
Takwil salaf – Kita tidak mengetahui maksud wajah Allah di dalam ayat di atas , dan kita serahkan maknanya yang sebenar kepada Allah , tetapi kita mengiktikadkan mustahil Allah itu daripada bersamaan dengan makhluk beranggota wajah dan bersuku - suku.
Takwil khalaf – Yang dimaksudkan wajah di dalam ayat di atas ialah zat Allah.Maka jadilah makna ayat tersebut “Dan kekallah zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”
v)Firman Allah
يَدُ اللَّـهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ

Ertinya :Tangan Allah itu di atas tangan – tangan mereka....(Al Fath 48:10)
Takwil salaf – Kami tidak mengetahui erti tangan Allah akan tetapi mustahil bagi Allah itu beranggota tangan dan bersuku – suku.
Takwil khalaf – Yang dimaksudkan dengan tangan itu ialah kudrat (kuasa).Maka jadilah maksud ayat tersebut kuasa Allah itu mengatasi kuasa mereka (manusia).
vi)Sabda rasulullah saw
ﻗﻟﺏ ﺍﻟﻣﺅﻣﻦ ﺑﻴﻦ ﺇﺼﺑﻌﻴﻦﻣﻦ ﺃﺼﺎﺑﻊ ﺍﻟﺭﺣﻣﻦ
Ertinya :Sesungguhnya hati orang yang beriman itu berada di antara dua jari daripada jari – jari Tuhan yang bersifat Rahman.
Takwil salaf – Kami tidak mengetahui makna ‘jari’ di dalam hadis di atas.Tetapi mustahil Allah swt itu mempunyai anggota jari dan bersuku – suku.
Takwil khalaf – Maksud dua jari tuhan itu ertinya dua sifat Tuhan iaitu kudrat (kuasa) dan iradat (kehendak).Maksudnya hati manusia itu sentiasa di dalam taaluk kuasa dan kehendak Allah.
Demikianlah contoh – contoh ayat mutasyabihat dan contoh – contoh takwil oleh ulama – ulama salaf dan khalaf.Kedua – duanya bermaksud mensucikan Allah daripada sifat mustahil dan keduanya itu adalah pegangan ahli sunnah.Wajib atas kita,setiap kali berjumpa dengan nas-nas yang mutasyabihat seperti contoh di atas,mentakwilkannya samada dengan takwil khalaf iaitu dengan makna yang menasabah dengan ketinggian zat Allah seperti yang telah diketahui daripada huraian mukhalafatuhu lil hawadis atau mentakwilkannya dengan takwil salaf iaitu diserahkan maknanya yang sebenar kepada Allah di samping mengiktikadkan suci Allah daripada simaatul huduth (ciri-ciri baharu yang sepuluh perkara) yang telah lalu. Kata Syeikh Ibrahim Al Laqqani di dalam nazamnya:
وكل نص أوهم التشبيها*اوله أو فوض ورم تنزيها
Ertinya:Tiap-tiap nas Al Quran atau hadis yang memberi waham ia akan tasybih Allah itu dengan yang bahru,takwil olehmu atau serahkannya olehmu akan pengetahuan itu kepada Allah dan kasad olehmu akan suci Allah Taala daripada menyerupai dengan segala yang baharu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar